Asal Mula Danau Toba
Danau Toba dengan panjang 100 kilometer dan
lebar 30 kilometer merupakan danau terbesar di
Indonesia. Danau yang di tengahnya terdapat
Pulau Samosir ini terletak di Provinsi Sumatra
Utara. Menurut cerita, danau vulkanik ini
dahulu merupakan sebuah aliran sungai. Namun
karena terjadi sebuah peristiwa yang luar
biasa, aliran sungai tersebut berubah menjadi
danau. Peristiwa apakah yang terjadi sehingga
aliran sungai itu berubah menjadi danau? Ikuti
kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Toba
berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Sumatra Utara, Indonesia,
hiduplah seorang pemuda pengembara. Ia
mengembara ke berbagai negeri. Pada suatu
hari, sampailah ia di sebuah tempat yang
alamnya indah dan subur. Di sekitar tempat itu
terdapat sebuah sungai yang jernih airnya.
Pemuda itu tertarik untuk menetap di tempat
itu. Akhirnya, ia pun membangun sebuah rumah
sederhana tidak jauh dari sungai. Rumah itu
terdiri dari sebuah kamar tidur dan sebuah
ruang dapur untuk memasak.
Usai mendirikan rumah, pemuda itu segera
mencari sebidang tanah yang subur untuk ia
tanami berbagai jenis tanaman seperti umbi-
umbian dan sayur-sayuran. Setelah menemukan
tempat yang cocok, ia pun mulai membuka
lahan dengan menebangi pohon-pohon besar
dan membabat semak-semak belukar. Setiap
kali pulang ke rumahnya, ia selalu membawa
kayu bakar dan menyimpannya di kolong
rumahnya untuk digunakan memasak sehari-
hari. Selain berladang, pemuda itu pergi ke
sungai untuk memancing ikan untuk dijadikan
lauk.
Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya,
pemuda itu pergi ke sungai memancing ikan.
Sesampainya di sungai, ia pun segera
melemparkan pancing ke tengah sungai. Sudah
cukup lama ia memancing, tapi tak seekor ikan
pun yang menyentuh umpannya. Berkali-kali ia
mengangkat dan melemparkan kembali pancing
ke sungai, namun belum juga ada ikan yang
memakan umpannya.
“Aneh! Kenapa tidak seekor ikan pun yang
menyentuh umpanku? Padahal biasanya setiap
aku melemparkan pancingku ke sungai langsung
disambar ikan. Apakah ikan di sungai ini sudah
habis?” pikirnya dalam hati.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu mencoba
sekali lagi menarik dan melemparkan kembali
pancingnya agak ke tengah sungai. Tetapi,
tetap saja belum membuahkan hasil. Akhirnya
ia memutuskan untuk berhenti memancing.
Namun, ketika hendak menarik pancingnya,
tiba-tiba seekor ikan menyambarnya. Setelah
beberapa saat membiarkan pancingnya ditarik
ikan itu ke sana kemari, ia pun menariknya
dengan pelan-pelan.
“Aduuuh, berat sekali! Ini pasti ikan besar yang
menarik pancingku,” pikir pemuda itu.
Ternyata benar. Setelah dengan susah payah
pemuda itu menarik pancingnya hingga ke tepi
sungai, tampaklah seekor ikan besar tergantung
dan mengelepar-gelepar di ujung tali
pancingnya. Dengan cepat, ia mengangkat
pancingnya agak jauh ke darat agar tidak
terlepas ke sungai. Alangkah senang hati
pemuda itu, karena baru kali ini ia
mendapatkan ikan sebesar itu. Saat ia melepas
mata pancingnya, ikan itu menatapnya dengan
penuh arti. Ia merasa tatapan mata ikan itu
bagai tatapan mata seorang gadis yang jatuh
hati kepadanya. Namun, pemuda itu berpikir
bahwa tidak mungkin seekor ikan bisa jatuh
hati kepadanya. Dengan perasaan gembira, ia
pun segera memasukkan ikan itu ke dalam
keranjang ikan. Setelah itu, ia bergegas pulang
ke rumahnya sambil tersenyum membayangkan
betapa lezatnya daging ikan besar itu jika
dipanggang.
Sesampainya di rumah, pemuda itu langsung
membawa ikan itu ke dapur. Ketika hendak
memanggang ikan itu, ternyata persediaan
kayu bakar telah habis. Ia pun segera keluar
mengambil kayu bakar di kolong rumahnya.
Alangkah terkejutnya ia setelah kembali ke
dapurnya. Ikan yang tersimpan di
keranjangnya sudah tidak ada lagi.
“Di mana ikanku? Bukankah tadi dia masih di
keranjang ini?” gumam pemuda itu dengan
heran.
Ketika memeriksa wadahnya, pemuda itu
melihat beberapa keping uang emas. Ia pun
semakin heran dan bingung.
“Aneh! Kenapa ada kepingan uang emas di
sini? Siapa yang menaruhnya?” gumamnya lagi.
Dengan perasaan bingung, pemuda itu
mengambil kepingan uang emas itu dan hendak
menyimpannya di kamar. Betapa terkejutnya ia
saat membuka pintu kamarnya. Ia melihat
seorang gadis sedang berdiri di depan cermin
sambil menyisir rambutnya yang panjang
terurai. Ketika gadis itu membalikkan badan
dan memandangnya, darah pemuda itu
langsung tersirap melihat kecantikannya.
Selama bertahun-tahun mengembara ke
berbagai negeri, baru kali ini ia melihat gadis
secantik dia.
“Hai, siapa kamu? Kenapa bisa berada di
dalam kamarku?” tanya pemuda itu heran.
Gadis itu bukannya menjawab pertanyaan si
pemuda, tetapi ia malah mengajaknya agar
menemaninya ke dapur. Tanpa berkata
sedikitpun, pemuda itu menuruti pemintaan
sang Gadis. Sesampainya di ruang dapur, gadis
itu langsung mengambil beras untuk dimasak.
Sambil menunggu nasi matang, gadis itu pun
bercerita kepada si pemuda.
“Maaf Tuan, jika kehadiran hamba di sini telah
mengusik ketenangan Tuan. Sebenarnya hamba
adalah penjelmaan dari ikan yang Tuan bawa
dari sungai tadi. Sedangkan kepingan uang
emas yang ada di wadah itu adalah
penjelmaan sisik hamba,” kata gadis itu.
Sang Pemuda seakan-akan tidak percaya
dengan perkataan gadis itu. Tetapi apa yang
dihadapinya itu adalah kenyataan, bukan
hanya mimpi belaka. Belum sempat ia berkata
apa-apa, si gadis kembali angkat bicara.
“Jika Tuan berkenan, bolehkah hamba tinggal
bersama Tuan di sini?” pinta gadis itu.
“Dengan senang hati, Putri!” jawab pemuda itu.
Akhirnya, gadis itu pun tinggal di rumahnya.
Setelah beberapa minggu hidup bersama,
pemuda itu melamarnya untuk dijadikan istri.
“Baiklah, Tuan! Hamba menerima lamaran
Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu
permintaan hamba,” kata gadis itu.
“Apakah permintaanmu itu, Putri?” tanya
pemuda itu.
“Tuan harus berjanji untuk tidak menceritakan
asal usul hamba sebagai penjelmaan ikan
kepada siapa pun,” pinta gadis itu.
“Baiklah, saya terima permintaanmu. Saya
bersumpah tidak akan pernah mengungkit asul-
usul, Putri,” kata pemuda itu.
Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah,
keduanya pun menikah. Setahun kemudian,
mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki
yang tampan. Mereka merawat dan
membesarkan anak itu dengan perhatian dan
kasih sayang. Namun karena kasih sayang yang
berlebihan, anak itu menjadi anak yang manja
dan pemalas.
Ketika anak itu beranjak remaja, ibunya sering
menyuruhnya mengantarkan makanan dan
minuman untuk ayahnya yang sedang bekerja
di ladang. Namun anak itu selalu menolak
perintah ibunya, sehingga terpaksalah ibunya
yang harus mengantar makanan itu.
Pada suatu hari, sang Ibu sedang merasa tidak
enak badan. Ia pun menyuruh anaknya agar
mengantarkan bungkusan yang berisi nasi dan
ikan panggang untuk ayahnya. Mulanya anak
itu menolak, namun karena sang Ibu terus
memaksanya, akhirnya dengan perasaan kesal
anak itu mengantar makanan itu. Di tengah
perjalanan, tiba-tiba anak itu merasa lapar.
Ia pun berhenti dan membuka bungkusan itu.
Dengan lahapnya, ia memakan sebagian nasi
dan lauknya hingga yang tersisa hanya sedikit
nasi dan daging ikan yang menempel di tulang.
Setelah kenyang, ia pun membungkus kembali
makanan itu dan melanjutkan perjalanan
menuju ke ladang. Sesampainya di ladang, ia
segera menyerahkan bungkusan itu kepada
ayahnya.
“Wah, kamu memang anak yang rajin, Anakku!’
puji sang sambil tersenyum.
Sang Ayah yang sudah kelaparan segera
membuka bungkusan itu. Alangkah terkejutnya
ia saat melihat isi bungkusan itu yang hanya
sisa-sisa. Hatinya yang semula senang dan
gembira, tiba-tiba berubah menjadi kesal dan
marah.
“Hai, kenapa isi bungkusan ini hanya sisa-
sisa?” tanya sang Ayah dengan wajah memerah.
“Maaf, Ayah! Di perjalanan tadi saya sangat
lapar, jadi saya makan sebagian isi bungkusan
itu,” jawab sang Anak.
Mendengar jawaban itu, kemarahan sang Ayah
pun semakin memuncak. Ia pun memukul
anaknya sambil berkata, “Dasar anak tidak
tahu diuntung! Kamu memang benar-benar
anak keturuan ikan!”
Sambil menahan rasa sakit dipukuli, anak itu
bertanya kepada ayahnya, “Apa maksud Ayah?
Kenapa mengatakan aku anak keturunan
ikan?”
“Asal kamu tahu saja, ibumu adalah
penjelmaan seekor ikan,” jawab Ayahnya.
Mendengar jawaban ayahnya, anak itu segera
berlari pulang ke rumahnya sambil menangis.
Sesampainya di rumah, ia pun langsung
mengadu kepada ibunya.
“Ibu..., Ibu...! Ayah memukulku dan
mengatakan aku anak keturunan ikan,” kata
anak itu.
Sang Ibu sangat sedih mendengar pengaduan
anaknya itu, karena suaminya telah melanggar
sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang
mengungkit asal asulnya. Seketika itu pula ia
menyuruh anaknya agar naik ke puncak bukit.
“Anakku! Naiklah ke puncak bukit itu dan
panjatlah pohon yang paling tinggi!” seru sang
Ibu sambil meneteskan air mata.
Tanpa banyak tanya lagi, anak itu pun segera
berlari ke atas bukit yang tidak jauh dari
rumah mereka. Ketika anak itu sampai di lereng
bukit, sang Ibu pun segera berlari menuju ke
sungai. Saat ia berada di tepi sungai, cuaca
yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi
gelap gulita. Langit bergemuruh disusul petir
menyambar-nyambar yang disertai dengan
hujan yang sangat deras. Pada saat itulah,
sang Ibu segera melompat ke dalam sungai dan
tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar.
Tak berapa lama kemudian, sungai itu banjir
dan airnya meluap ke mana-mana, sehingga
tergenanglah lembah tempat sungai itu
mengalir. Lama kelamaan, genangan air itu
semakin meluas dan akhirnya berubah menjadi
sebuah danau yang sangat besar. Oleh
masyarakat setempat, danau itu dinamakan
Danau Toba.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Toba dari
daerah Sumatra Utara, Indonesia. Cerita di
atas termasuk kategori legenda yang
mengandung nilai-nilai moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-
hari. Sedikitnya ada dua nilai moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat
buruk sifat terlalu memanjakan anak dan sifat
tidak pandai menjaga amanah.
Pertama, akibat buruk karena terlalu
memanjakan anak, sebagaimana tampak pada
sikap si Pengembara dan istrinya yang terlalu
memanjakan anaknya dengan mencurahkan
perhatian dan kasih sayang secara berlebihan.
Akibatnya, anaknya pun menjadi pemalas.
Kedua, akibat buruk tidak pandai memelihara
amanah Orang yang tidak pandai memelihara
amanah adalah orang yang tidak dapat
dipercaya. Hal inilah yang terjadi pada si
Pengembara yang telah mengingkari janji dan
sumpahnya dengan mengungkit-ungkit asal-
usul istrinya di depan anak mereka. Akibatnya,
istrinya pun pergi meninggalkannya dan
kembali menjelma menjadi seekor ikan besar.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa melalaikan amanah,
hidup matinya takkan berkah
siapa menolak amanah,
balak menimpa hidupnya punah